Eksistensi Fondrako Dalam Hukum Adat Nias

Fondrako Ono Niha

Melalui tulisan ini, admin noseose akan menyajikan sebuah makalah yang berjudul "Eksistensi Fondrako Dalam Hukum Adat Nias". Yuk cari tahu ulasan lengkapnya disini. Selamat membaca.

Pendahuluan

Di sebelah barat pulau Sumatera terdapat beberapa buah pulau mulai dari pulau Simeuleu sampai ke pulau Enggano, dan salah satunya pulau Nias yang merupakan pulau terbesar yang memiliki peradaban budaya yang sangat khas serta memiliki nilai estetika yang cukup tinggi. Pulau Nias, selain terkenal dengan eksotisme pantainya dan ombaknya yang sudah mendunia, juga memiliki kekayaan budaya dan adat istiadat yang beradab. Seperti halnya suku lainnya di nusantara, Nias dikenal dengan hukum adat yang telah ditetapkan raja-raja dan pengetua adat di zaman dahulu yang hingga sekarang masih tetap berlaku. Namun seiring dengan perkembangan zaman dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, peraturan hukum adat ini sudah mulai ditinggalkan dan hampir terlupakan karena dianggap sudah tidak memenuhi kebutuhan dan rasa keadilan masyarakat.

Menurut Faogöli Harefa (1939 : 4) dalam bukunya “Hikayat dan Cerita Bangsa serta Adat Nias”, menyatakan “bahwa sebelum datang bangsa asing di pulau Nias, maka pulau ini disebut ‘Tanö Niha’ dan masyarakatnya disebut ‘Ono Niha’, akan tetapi setelah bangsa asing datang, pulau ini disebut Pulau Nias dan masyarakatnya disebut ‘Suku Nias”. Pulau Nias yang memiliki luas sekitar 5.500 kilometer persegi, menyimpan sejumlah misteri dan keunikan, mulai dari kehidupan sehari-hari yang masih serba tradisional, suasana budaya (cultural landscape) hingga peninggalan megalitik dan arsitektur yang mengagumkan.

Hukum Adat Nias ini terkenal dengan sebutan ‘Fondrakö’, yang ditetapkan untuk mengatur tata kehidupan masyarakat Nias dengan sanksi berupa kutuk bagi yang melanggarnya. Fondrakö merupakan forum musyawarah, penetapan, dan pengesahan adat dan hukum. Bagi yang mematuhi Fondrakö akan mendapat berkat dan yang melanggar akan mendapat kutukan dan sanksi. Seperti halnya mitos tentang asal-usul orang Nias yang konon diturunkan “nidada” dari langit “Tetehöli Ana’a”, maka Fondrakö ini diturunkan bersama dengan Hia Walangi Sinada di daerah Gomo (Bagian Selatan Nias). Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk Nias maka para raja dan tetua adat bermufakat untuk memperbaharui peraturan yang ada sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masing-masing rakyatnya.

Pada masa itu (terutama sebelum masuknya ajaran agama Kristen ke Pulau Nias), Fondrakö ini sangat dipercaya memiliki kekuatan magis, sehingga banyak penduduk yang mengalami kutuk seperti yang telah ditetapkan para pengetua adat. Selain Fondrakö, adapula hukuman lainnya bagi individu yang melanggar peraturan, mulai dari denda emas dan babi, hingga hukuman pancung (leher dipenggal). Proses memancung leher adalah dengan menidurkan orang yang akan dihukum di atas tanah dan lehernya diletakkan di atas batang pisang, barulah eksekusi dilakukan. Seperti halnya raja-raja lainnya, Fondrakö juga terdapat di Talu Nidanoi dan Laraga (daerah Gunungsitoli Idanoi dan Gunungsitoli Selatan) oleh dua raja besar di masa itu yakni Balugu Samönö Ba’uwudanö (Mado Harefa) dan Balugu Tuha Badanö (Mado Zebua).

Seiring dengan perkembangan zaman dan pengenalan masyarakat akan agama maka kepercayaan akan kutuk tersebut sudah mulai berkurang sekalipun masih ada yang hingga saat ini masih mempercayainya, terutama para tetua-tetua adat di Pulau Nias. Sementara hukuman pancung sudah mulai berkurang di Nias sejak kedatangan para misionaris yang menyebarkan agama kristen sejak tahun 1830.

Menurut cerita dari para orang-orang tua di masa kecil, bahwa apabila kedapatan orang yang berbuat zina maka akan dikenakan hukuman pancung baik pria maupun wanitanya. Dahulu, komunikasi antara pria dan wanita yang tidak memiliki hubungan saudara sangatlah dibatasi, apalagi bila sampai ketahuan pacaran. Dilarang mengganggu atau melirik anak gadis orang bahkan mengerlingkan mata sekalipun, apabila ketahuan maka bersiap-siaplah untuk digebuki oleh saudara-saudara si wanita.

Pertengakaran antar kampung seringkali diawali oleh masalah “melirik atau mengganggu cewek” di masa lampau.

Permasalahan

Bagaimanakah eksistensi “Fondrakö” dewasa ini sebagai hukum adat Nias yang semestinya dipatuhi, ditaati dan diimplementasikan oleh masyarakat Nias (suku Nias) dalam kehidupan sehari-hari?

Pembahasan

1. Fondrakö sebagai Sumber Hukum Adat Nias Istilah Fondrakö berasal dari pokok kata ‘rakö’ yaitu kata kerja yang berarti : Tetapan dengan sumpah yang bersanksi kutuk bagi pelanggar. ‘Fo’ berarti ‘Pe’ atau ‘Ke’, sehingga Fondrakö berarti : Penetapan, Ketetapan-ketetapan dengan penyumpahan dan kutuk bagi sipelanggar. Istilah ‘Rakö’ merupakan suatu kata yang demikian tinggi dan mendalam maknanya. Bila kata itu didengar seseorang yang diucapkan dengan marah atas dirinya, umpamanya ‘Rakö dödöu’ berarti tetapkan di dalam hatimu dengan sumpah dan kutukilah dirimu bila engkau langgar sumpahmu itu. Konsekwensi sumpah dan kutuk itu akan terus terbayang olehnya betapa mengerikan celaka yang akan menimpa diri seseorang yang terkena kutuk akibat sumpah.

Fondrakö yang dikenal oleh seluruh Ono Niha (anak manusia/suku Nias) di seluruh Tanö Niha (tanah manusia/pulau Nias), merupakan kumpulan dan sumber segala hukum yang menjadi landasan hidup Ono Niha (suku Nias), baik sebagai perorangan maupun sebagai masyarakat.

Ketika membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan persoalan-persoalan hukum yang terjadi ditengah-tengah masyarakat, maka Fondrakö menjadi dasar pemikiran dan atau tolak ukur untuk menuntaskan masalah-masalah tersebut.

Dengan bersumber Fondrakö, segala sesuatunya dihadapi dan diputuskan berdasarkan permusyawaratan yang dikendalikan dan atau di dominasi oleh hukum jiwa Fondrakö.

Untuk menjadi peringatan bagi seluruh umat yang terlibat dan yang diharuskan menaati hukum-hukum itu, timbullah petitih-petitih laksana lonceng setiap saat bagi penganut Fondrakö itu, agar hati-hati dan tetap waspada pada setiap gerak dan langkahnya. Sesuai dengan ide pemberian pengertian itu oleh ulama-ulama adat, menaburkan benih-benih petitih itu di tengah-tengah masyarakat ramai untuk diingat-ingat, terutama bagi raja-raja sebagai tiang pancang Fondrakö. S.W. Mendrofa, (1981) mengatakan “marilah kita selami falsafah-falsafahnya berbunyi : “Si’o-si’oi fönau i.o dotowau na mofanö’ö”, artinya : rintis-rintislah jalan dihadapanmu dengan mempertongkat ujung tangkai tombakmu di kala berjalan. Dalam hal ini tombak selaku tongkat yang memegang peranan utama untuk keselamatan dalam melakukan perjalanan.

Tombak disini memiliki dua fungsi yaitu : pertama, menjadi tongkat dan kedua, menjadi senjata, dan untuk merintis jalan maka ‘i’o dotoa’ yang dipergunakan sebagai ujung dari tangkai tombak. “Para raja-raja Fondrakö dalam hal ini Tuhenöri dan Salawa Site’oli, setelah mengumumkan semua ketetapan-ketetapan Fondrakö, selanjutnya memberikan nasehat kepada seluruh warga masyarakat dengan mengatakan : ni’ani’o ba wofanö, ni’odiwo ba wemanga, ni’anadraya ba wemörö, ni’anöla gasa rutu, artinya : menjadikan tongkat disaat berjalan, menjadikan lauk disaat makan, menjadikan bantal disaat tidur, menjadikan gelang bagi pucuk pimpinan”, (S.W. Mendrofa, 1981).

Dari mölimöli (nasehat-nasehat) yang pertama diketahui istilah “Si’o” (tongkat) dengan maksud Fondrakö dijadikan tongkat disetiap jalan yang dilalui baik ketika berjalan dipendakian, berjalan didataran, maupun ketika berjalan dipenurunan. Sebab Si’o itu merupakan tombak, maka selain menguatkan orang yang sedang berjalan, juga Fondrakö menjadi alat dan senjata untuk menangkis segala bahaya yang mengancam. Dalam artian Fondrakö itu jauh lebih tajam bahkan jauh lebih berkuasa dari tombak itu sendiri. Untuk möli-möli (naseha-nasehat) yang kedua diketahui dengan istilah “ni’odiwo ba wemanga” artinya menjadikan lauk disaat makan, maksudnya diwaktu makan hendaklah Fondrakö itu dianggap sebagai lauk pauk, setiap mengunyah makanan, setiap menelan makanan hendaklah berlauk pauk dengan naskah-naskah hukum Fondrakö. Seperti pepatah Nias berbunyi “Femanga zilatao böi femanga ziwa’elo”, artinya hendaklah makan bagaikan makan seekor jantan (ayam jago), jangan bagaikan makan seekor betina (induk ayam). Pepatah ini terus hidup di hati sanubari masyarakat Ono Niha dan selalu terjaga dimana dan kapan saja. Contoh nyata seringkali terlihat ketika seokor ayam jago disugukan makanan tidaklah segera ia memakannya tetapi si ayam jago lebih dahulu memanggil induk dan anak-anak ayam untuk memakannya. Dengan demikian ayam jago lebih mengutamakan induk dan anak-anak ayam menikmati makanan tersebut namun tetap berada di bawah pengawasannya, bahkan kemungkinan si ayam jago tidak kebagian makanan yang disugukan itu.

Selanjutnya, Fondrakö diartikan sebagai musyawarah pemuka adat Nias yang menjadi forum pembahasan dan pengesahan hukum adat baru atau Fondrakö baru. Fondrakö didefinisikan sebagai penetapan hukum adat baru yang disahkan dengan berkah bagi yang menaati dan kutukan bagi para pelanggar aturan adat oleh Ere atau imam/pandita agama Nias kuno. Pada prinsipnya Fondrakö yang tidak tertulis ini berasaskan pada lima nilai dasar dalam masyarakat Nias yaitu fo’adu (perbuatan baik), fangaso (kekayaan yang berhubungan dengan mata pencarian), fo’ölö'ölö haohao (sopan santun), fabarahao (tata pemerintahan dan stratifikasi sosial) dan bowö masi-masi (adil dan saling mengasihi) sebagai asas penegakan hukum adat yang mengikat sekaligus menjamin hak-hak anggota masyarakat atas hak kepemilikan, kekayaan, kehormatan dan keselamatan. Pada masa kini Fondrakö direvitalisasi sebagai simbol supremasi hukum adat di Nias.

Sejak UU Otonomi Daerah berlaku, 32 dari 33 kecamatan di Pulau Nias melembagakan Fondrakö sebagai dasar penyelesaian masalah-masalah adat di Pulau Nias.

2. Penetapan Segala Peraturan dan Hukum Adat Nias dengan Kutukan Adapun Fondrakö itu suatu hal yang sangat ditakuti dan dianggap mengerikan oleh setiap orang di pulau Nias, mengingat segala peraturan yang telah ditetapkan tiada boleh dilanggar sebab dapat kena kutuk Fondrakö. Untuk menetapkan Fondrakö biasanya dilaksanakan di rumah raja atau di rumah tempat permusyawaratan yang dikenal dengan nama “Aro Gosali”. Ketika itu raja dan pengetua-pengetua adat menetapkan segala sesuatu menurut adat Nias yang berlaku di seluruh wilayah negeri Nias.

Proses penetapan dan pengesahan Fondrakö ini terkesan mistis karena melibatkan binatang atau benda yang diumpamakan sebagai siksaan atau kutuk yang akan dialami oleh pelanggarnya. Fondrakö ini dilaksanakan di “Arö Gosali” (Rumah musyawarah) yang dihadiri oleh raja-raja dan para tetua adat. Mereka menetapkan Fondrakö dengan menggunakan ayam, lidi, dan timah panas. Salah seorang pengetua adat akan mematah-matahkan lidi atau kaki dan sayap ayam serta menuangkan timah panas ke dalam mulut ayam tersebut.

Saat melakukan ritual tersebut, dia akan mengucapkan kutuk “Barangsiapa yang melanggar segala sesuatu yang telah ditetapkan dalam Mondrakö ini, maka dia akan segera mati (patah seperti lidi), atau disiksa seperti ayam yang kaki dan tangannya patah serta segala yang dimakannya akan terasa panas seperti timah panas yang dimasukkan ke mulut ayam”.

Terkadang, mereka juga menggunakan kucing atau anjing dengan kutuk “Lö mowa’a ba danö ba lö molehe ba mbanua” yang artinya tidak bakalan memiliki keturunan. Pada galibnya Fondrakö memaksa orang untuk berbuat baik serta memberi dorongan yang kuat dan petunjuk untuk berbuat menurut nafas dan jiwa Fondrakö. Jiwa Fondrakö dikenal menurut istilah aslinya yang mengatakan “Masi-masi artinya kasih sayang; Mölimöli artinya pengasuhan pencegahan; dan Rourou artinya pendorong berbuat/pengasahan”. Atau dengan istilah lain yakni Asah, Asih, Asuh.

Menurut Faogöli Harefa (1936:26) mengemukakan sebagai berikut :

Sementara itu disediakan seekor ayam (tak berubah besarnya atau jantan betina), lidi yang rapuh dan timah dengan pedupaan tempat meleburnya. Setelah disebutkan semua peraturan yang harus dituruti dan pelanggaran tiada boleh dilakukan itu, maka salah seorang dari orangtua itu, mematah-matahkan lidi tadi atau mematahkan kaki dan sayap ayam itu dan menuangkan timah yang jalang (sedang panas) ke dalam mulut ayam itu sehingga mati.

Sementara ia melakukan itu ia berkata-kata, katanya ‘barang siapa melanggar segala sesuatu yang telah ditetapkan sewaktu Fondrakö ini, akan halnya sebagai lidi yang rapuh ini (lekas patah artinya lekas mati) atau sebagai ayam yang disiksa ini kaki tangannya patah, segala yang dimakannya panas sebagai timah ini, sehingga ia mati.

Berkat kepercayaan akan hal itu mengakibatkan bagi orang yang telah melanggar dan karenanya mereka kena kutukan Fondrakö, sehingga orang manapun akan sangat takut melanggar ketentuan Fondrakö. Selain itu juga ditentukan pula hukuman bagi masing-masing orang yang melanggar peraturan menurut besar kecil kesalahan yang dilakukan. Hukuman itu ditentukan mulai dari hukuman ringan seperti membayar berupa emas, menyerahkan beberapa ekor babi bahkan sampai kepada hukuman yang lebih berat yaitu hukuman mati dengan cara lehernya dipancung. Cara hukuman pancung leher yaitu si terhukum dengan posisi tidur terlentang, lalu lehernya dialas dengan batang pisang, untuk kemudian dieksekusi dengan cara lehernya dipotong atau dipancung.

Pada masa itu setiap orang sangat takut dan trauma dengan penjatuhan hukuman yang mengerikan itu, sehingga setiap orang tidak akan berani melanggar ketentuan-ketentuan Fondrakö. Bila pada suatu daerah pemukiman yang belum mencanangkan Fondrakö maka terjadi bala seperti penyakit yang menyerang manusia, penyakit hewan piaraan, hama tanaman atau daerah itu diperangi oleh sekelompok manusia dari wilayah yang lain, maka para tetua-tetua adat mencari sebab musabab bala itu.

Tetua-tetua adat mencari di antara mereka siapa keturunan yang dituakan, sehingga orang itulah yang didukung untuk menjadi Tuhe Wondrakö menyelesaikan bencana yang terjadi di wilayah tersebut. Sedangkan yang lain-lain menjadi staf dan pendukung yang mutlak dan setia untuk secara bersama-sama mencari solusi menuntaskan persoalan yang sedang dihadapi masyarakat.

Segala biaya pelaksanaan dipikul bersama. Bila di daerah itu bemukin berpuluh-puluh kelompok yang berdekat-dekatan dan berbatasan tanah perladangannya dan terdiri dari beberapa mado, maka kelompok-kelompok ini akan menjadi suatu daerah/lingkungan Si Sambua Fondrakö; keturunan yang dituakan tadi menjadi Tuhe Wondrakö (Tuhe Nöri Wondrakö).

Adapun ketentuan-ketentuan dan hukuman-hukuman bagi yang ingkar atau menentang hukum Fondrakö yang diucapkan Ulama Fondrakö antara lain :

  1. Böi gö manawö Fondrakö, haniha zanawö, ya afatö waha
  2. Böi gö sumui Fondrakö, haniha zanui, ya ateu mbagi
  3. Böi nönö Fondrakö, haniha zonönö, ya asila dödö, ya aboto dalu
  4. Böi alösi Fondrakö, haniha zangalösi, ya asila hulu ya aeru waha
  5. Böi öra’u ba böi osilö’ögö Fondrakö, haniha zondra’u ba sangosilö’ögö Fondrakö, ba danö lö mowa’a, ya lö molehe ba mbanua, aetu nungo götögötö, ya gö mate lö lewatö, ya si taya lö mi’ila zau

Terjemahannya :

  1. Jangan melanggar Fondrakö (hukum adat), yang melanggar semoga patah pahanya
  2. Jangan membelakangi atau menyepelekan Fondrakö, siapa yang menyepelekan semoga lehernya putus.
  3. Jangan menambah Fondrakö, yang menambah semoga terbelah jantungnya, semoga pecah perutnya.
  4. Jangan mengurangi Fondrakö, siapa yang mengurangi semoga punggungnya terbelah, semoga pahanya mengecil.
  5. Jangan menyangkal Fondrakö, siapa yang menyangkal semoga tak berakar di bumi, tak bertunas di langit, putus keturunannya, mati tiada berkubur, hilang tak berkabar.

Kesimpulan

a. Suku Nias adalah masyarakat yang hidup dalam lingkungan adat dan kebudayaan yang masih tinggi. Hukum adat Nias secara umum disebut Fondrakö yang mengatur segala sendi-sendi kehidupan mulai dari kelahiran sampai kematian. Fondrakö dengan kekuatan hukumnya yang maha dahsyat dapat menjatuhkan kutuk bagi orang yang melanggar sumpah Fondrakö yaitu hukuman siksa tiada tara, sengsara atau penderitaan sampai ke anak cucu, bahkan dapat membunuh siapa saja tanpa belas kasihan. Akan tetapi sebaliknya Fondrakö dapat memberikan kebahagiaan, kesejahteraan dan berkat berlimpah bagi orang yang mematuhi, mengamalkan dan mengimplementasikan hukum Fondrakö dalam kehidupannya.

b. Fondrakö memiliki lakhömi (wibawa) sehingga dituruti dan ditaati oleh seluruh rakyat, akan tetapi ia bukanlah seperangkat hukum adat yang kaku tetapi lebih bersifat fleksibel yang hidup dan berkembang seirama dengan dinamika sosial masyarakat pendukungnya.

Saran

a. Fondrakö merupakan salah satu unsur budaya nasional yang sangat khas dan memiliki nilai-nilai tradisi yang sangat tinggi, warisan peninggalan para leluhur dan diyakini masih hidup dihati sanubari rakyat Nias, sehingga dipandang perlu untuk tetap dan terus dilestarikan sepanjang masa, oleh karenanya kepada semua pihak dimanapun berada dituntut untuk ikut ambil bagian mengembalikan kecintaan dan kebanggaan masyarakat suku Nias terhadap nafas dan jiwa Fondrakö.

b. Fondrakö atau peraturan hukum adat Nias hendaknya dapat disesuaikan dengan dinamika sosial masyarakatnya menurut perkembangan zaman serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini, dengan kata lain, Fondrakö dimusyawahkan, dibahas, disusun dan ditetapkan berdasarkan situasi, kondisi, kehendak (keinginan) dan kesepakatan seluruh masyarakat adat Nias.

Demikian makalah tentang Eksistensi Fondrako Dalam Hukum Adat Nias, semoga bermanfaat.

Sumber : media[.]neliti

Posting Komentar untuk "Eksistensi Fondrako Dalam Hukum Adat Nias"